#1. PANDANGAN PERTAMA

Hari Sabtu, gue inget banget hari itu. Gue berlarian dari arah belakang Kampus Ekonomi. Mengejar waktu. Limit. Gue baru aja pulang dari tempat praktek lapangan subuh tadi, dan sekarang keringet udah membasahi sekujur badan.

“Kak, kenapa lu?” cewek manis adek dua tingkat itu bertanya sesaat gue nabrak lengannya di lorong Gedung E yang gelap itu.

“Aduh maaf Za, gue buru-buru. Lagi nyari Dosen PA gue nih. Gue belum ngisi RKS.” sejenak gue berhenti di depannya. “Gue cabut dulu ya adek manis,” sambil tangan gue ngusap kepala dia.

“Semangat ya kakakku,” sambutnya sambil tersenyum manis banget. Dan gue langsung aja berlari lagi mengejar waktu yang mulai sempit sampai jam 12:00 WIB ini. Kampret.

Baru saja gue keluar dari lorong gelap Gedung E itu sudah dihadang sama si Ade. “Coy, lu nanti ngisi kan pas jatah angkatan kita” tanya Ade. Sejenak gue yang masih terfokus sama RKS keinget kalau hari ini ada Masa Orientasi Kampus Mahasiswa angkatan baru.

“Jam 1 kan De? Bentar gue beresin masa depan gue dulu ya,” jawab gue sekenanya. “Ruang 2.1 kan?” tanya gue memastikan.

“Sip, gue sama anak-anak nunggu lu di luar ruangan ya? Masuk bareng kita.” balas Ade.

Gue yang memang terburu-buru langsung berlari lagi ke arah ruang jurusan untuk nemuin Dosen PA kampret itu. Gila ngasih limit gak pake mikir tuh dosen. Gue masih kerja praktek nun jauh dari kota mesti balik secepatnya begitu dapet sms dari temen se-PA kemarin siang.

“Argghh, lu apa sih Di?” ketus gue saat tabrakan dengan dia di pertemuan siku GedungA itu. “Minggir.” perintah kasar gue.

“Lu udah isi RKS belum? Kata Pak Sas tinggal lu doang yang belum.” tanya Ardhi sambil megangin tangan dia yang ngilu.

“Nih gue baru mau minta tandatangan dia coy, udah sana minggir lah” sambil gue dorong dikit badan si culun itu yang halangi jalan gue. Ah, ada aja gangguan sih, kapan bisa gue kelar kalau gini. Umpatan dalam hati gue yang kesel sepagi ini.

Baru aja gue melanjutkan kaki gue setengah tergesa dan cum sekitar lima meter, ada kepala-kepala dengan wajah yang baru gue liat di awal tahun keempat gue di kampus ini. Depan mata gue. Mahasiswi baru. Semua sedang mengayunkan gemulai tangannya di atas kaca gedung yang .memang berdebu itu. Ngapain aja ya tukang bersih kampus ini ampe kaca aja kotor banget.

Dari sekian wajah itu, satu yang gak bisa gue lepas dari tatap. Gue terpana. Dan gue pun spontan berhenti di hadapan mereka, seolah melupakan apa yang harusnya gue kejar.

"Bolehkah aku egois?
Berharap hanya ada pertemuan,
Bukan perpisahan."

KISAH (TAK) BERUJUNG

Andre, beranjak dari pembaringannya menuju arah depan kamarnya lalu menempellah wajahnya di balik kaca bening yang begitu jelas memperlihatkan langit kala senja itu. Tanpa kecerahan yang terpancar dari langit, seakan menjadi keadaan yang sama terhadap suasana hati bahkan fikiran Andre, begitulah hujan mengguyur bumi.

Perlahan, Andre melepaskan wajahnya dari permukaan kaca jendela kamarnya yang mungkin penuh dengan butir-butir debu. Tangannya yang begitu lemah meraih pegangan pintu dan membuka dua kali arah kunci sehingga terlihatlah suasana nyata di depan pandangnya berupa jatuhan air dari langit senja itu.

Andre duduk di atas lantai di bawah bingkai rangka pintu kamarnya dan termangu menatap langit atau meringis memandangi hujan yang turun begitu derasnya dimana malaikat sedang mencatat pada saat bersamaan bahwa hati Andre sesang menangis mengingat yang telah terjadi dan berlalu pada sepanjang pertumbuhan hidupnya.

Suara Adzan tidak mengagetkan Andre, namun belum membuat Andre beranjak dari posisi duduknya tadi untuk segera mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah Shalat Maghrib. Andre terus saja memandangi jatuhan air hujan yang memercik hingga ke dekat kakinya, terkadang dia mengusap kakinya untuk menghilangkan basah akibat percikan air. Tetap diam tak beranjak.

Sesaat berlalu, barulah Andre mengangkat badannya untuk berpindah ke dalam kamar mandi dan mengambil wudhu untuk melanjutkan segala doa dan curhatan dari hatinya, karena hanya Allah yang dia anggap menjadi Sahabat terbaik dari hidupnya yang senantiasa menemaninya dalam keadaan susah atau senangnya.

Sekembalinya Andre dari segala doa dan curhatannya kepada Allah, dia tetap berpulang pada posisi nyamannya di atas kasur dan bersender di batas dinding kamarnya yang menegaskan dingin karena cuaca begitu tidak baik pada senja ini. Entah apa dalam fikirnya, diam saja tanpa banyak melakukan gerakan-gerakan badan yang menyiratkan bahwa Andre tidak sedang bersemangat.

Sudah tak terhitung jumlah malam yang harus dilewati Andre dengan segala kemuramannya yang membisikkan kalbunya yang begitu kelam. Tiada senyum mampu tergurat dengan iklasnya, kalaupun ada itulah yang disebut kepalsuan dan kesemuan dari hatinya yang selalu meringis.

Sekelumit lamunan pada seorang wanita yang dicintanya hingga saat ini, entah apa yang diharapnya, hanya harap kosong namun itulah cintanya pada wanita tersebut yang selalu akan dinantinya walau berulang kali hatinya bergores dan bertambah poranda.

Hingga pada lembar bukunya dia menyajikan sebuah tulisan yang begitu saja spontan digores dengan tangan kanannya yang tampak lunglai,

Di antara kelopak mataku ada 2 sinar…

Namun hanya satu sinar yang mampu ternilai

Lalu, sinar lain itu terpancar hanya untuk terabaikan…

Lirih-lirih kata yang kuucap setengah berbisik mungkin takkan terdengarmu..

Sepanjang fajar hingga fajar, aku terjaga dengan semua lamunku itu, yang ternyata kamu…

Aku tak mampu menampiknya

Aku tak mampu mengusirnya

Aku tak mampu membuangnya

Dan bahkan aku tak mampu melupakannya…

Aku menjadikanmu seorang putri dalam Negeri Khayalku..

Namun, mencintaimu itu adalah sebuah Nyata dan tersurat dalam nurani.

Disibaknya rambut yang sedikit menutupi keningnya, sambil menghela nafas begitu tajam yang terasa begitu melelahkan bagi siapapun yang mendengarnya, Andre membanting buku yang baru saja diisinya dengan sebuah tulisan (lagi) yang berasal dari hatinya.

Selonjoran lunglai kakinya yang terasa begitu dingin seiring kondisi raganya yang akhir-akhir ini semakin menurun diangkatnya untuk mencoba berdiri dan menyentuh batas dinding dengan tapak tangannya. Gontai gerakannya dan sembari berucap lirih “aku begitu merindumu cinta, tidakkah kamu merasakan rindu ini”.

Perlahan-lahan disusurinya lantai kamarnya dan pergi (kembali) ke batas bingkai jendela dan dilihatnya malam semakin beranjak, dikecupnya kaca yang dingin berurai air hujan itu sambil berlantun “Selamat Malam, Senja”.

Continue reading

Langit Malam Satu Kerlip dan Rembulan Besar di Ruang Kecil

20150730_195022-1

Langit malam membentang seperti layar hitam di kala senja beranjak dari ufuk barat

Perlahan semakin pekat menggelar kelam

Ketika waktu terus berputar, bertambah menuju pergantian malam

Kantukmu tak lagi tertahan di ujung lelahmu,

Perlahan mulai kau rebahkan raga di hamparan untuk segera menuju alam tak sadarmu,

Lelapkanlah malammu dengan segala mimpimu, yang terindah

Disini (aku) langit malam hanya dengan kerlip kecil senantiasa membentang di sepanjang tidurmu,

Tanpa mampu melihat apalagi memandang tidur pulasmu,

Disana, di pembaringanmu engkau terlelap dengan simpul senyum seiring alam tak sadarmu

Bercerita bersama hatimu yang diterangi rembulan besar penuh di segala sisinya, dan kau terlihat cantik mempesona karena cahayanya.

Sesekali kamu menggeliat, namun dengan simpul senyummu yang semakin mempesona di alam tak sadarmu.

Dan masih disini, (aku) Langit hitam dengan kerlip kecil hanya menjadi latar di belakang alam tak sadarmu yang berlakon senyum simpul mempesonamu karna Rembulan besar penuh.

(Aku) Langit hitam dengan kerlip kecil berusaha mencuri cerita ruang kecil di alam tak sadarmu namun terang karna Rembulan besar penuh

(aku) Langit hitam dengan kerlip kecil tetaplah menjadi latar kelam di belakang cahaya terang Rembulan besar penuh di ruang kecilmu untuk alam tak sadarmu kali ini.

Sepanjang apa Langit hitam dengan kerlip kecil tetap melatarimu,

Sepanjang bumi terus bercerita tentang kamu,

MENCARI NURANI

Lihatlah,

badan sekecil itu berkeringat

mengais makan di ladang sampah

menghirup wangi busuk tak perduli

Screenshot_2014-03-24-23-07-35-1

Lihatlah,

badan sekecil itu terhenyak

menatap gedung tinggi menjulang di batas pandangnya

berharap masuk, rasakan kemewahannya

Lihatlah,

badan sekecil itu berkeliaran

mainkan sembarang alat iringi lantunan vokal falsnya

siratkan keperihan hati

Lihatlah,

badan sekecil itu termangu

memandang mobil mewah berlalu-lalang tepat di matanya

membayangkan sejuknya di dalam sana

Lihatlah,

badan sekecil itu tak beralas kaki

biarkan aspal hitam memakan kulitnya

demi selembar rupiah untuk ditukar sebungkus nasi

Lihatlah,

badan sekecil itu

mestinya dia duduk mengais ilmu

berkelahi dengan waktu menggapai cita

Screenshot_2014-03-24-23-01-19-1

Lihatlah, lihatlah …

Bangsaku, Negeriku begitu kaya namun tetaplah miskin

anak-anak bangsa ini menjerit keperihan

harapkan mimpi dan bahagia menjemput untuk mereka rajut

Dimanakah nuranimu Indonesiaku.

Ditulis pertama kali di sebuah kamar, tanggal 16 Agustus 2003.

Senja begitu Harum

Suara-suara kecil itu begitu nyaring terdengar dengan gelak-gelak yang membuat sebuah simpul tersenyum.
Begitu asyiknya mereka berlarian saling mengejar, bahkan terkadang ada yang terjatuh dan saling menimpa, namun mereka bangkit lagi dengan sedikit meringis di sela tawa mereka.
Suasana taman bunga ini menambah riangnya permainan mereka, menjelajah seluruh pelosoknya dengan sesekali menjahili bunga yang sedang bermekaran.
“Senja, kamu jangan memetik bunga itu” sentak Harum seketika.
“Aku hanya ingin memberikan bunga ini pada sahabatku”, tak kalah Senja menjawab.

image

“Ah, kamu merusak indahnya taman ini saja Senja”, ujar Harum dengan mimik yang begitu kesal.
Lalu, Senja menghampiri Harum, dan meletakkan kuntum bunga ungu bertangkai itu pada sela telinga Harum sambil berkata “Bunga ini untuk sahabatku yang terbaik”.
Senyum langsung membentang di wajah Harum yang sesaat lalu kesal, “Terima kasih Senja” lanjutnya.
Lalu mereka berpelukan, dan kembali berlarian dengan begitu gembiranya dengan tangan yang saling menggenggam erat.
Indah sekali pemandangan taman ini, di penghujung sore.
Senja begitu Harum.

SELAMAT MALAM, SENJA

PENGGALAN 1

Selamat Malam, senja.

Ridho nama pendeknya, beranjak dari pembaringannya menuju arah depan kamarnya lalu menempellah wajahnya di balik kaca bening yang begitu jelas memperlihatkan langit kala senja itu. Tanpa kecerahan yang terpancar dari langit, seakan menjadi keadaan yang sama terhadap suasana hati bahkan fikiran Ridho, begitulah hujan mengguyur bumi.

Perlahan, Ridho melepaskan wajahnya dari permukaan kaca jendela kamarnya yang sudah penuh dengan butir-butir debu. Tangannya yang begitu lemah meraih pegangan pintu dan membuka dua kali arah kunci sehingga terlihatlah suasana nyata di depan pandangnya berupa jatuhan air dari langit senja itu.

Sementara, Ridho duduk di atas lantai di bawah bingkai rangka pintu kamarnya dan termangu menatap langit atau meringis memandangi hujan yang turun begitu derasnya dimana malaikat sedang mencatat pada saat bersamaan bahwa hati Ridho sedang menangis mengingat yang telah terjadi dan berlalu pada sepanjang pertumbuhan hidupnya.

Kumandang Adzan tidak mengagetkan Ridho, namun belum membuat Ridho beranjak dari posisi duduknya tadi untuk segera mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah Shalat Maghrib. Ridho terus saja memandangi jatuhan air hujan yang memercik hingga ke dekat kakinya, terkadang dia mengusap kakinya untuk menghilangkan basah akibat percikan air. Tetap diam tak beranjak.

Sesaat berlalu, barulah Ridho mengangkat badannya untuk berpindah ke dalam kamar mandi dan mengambil wudhu untuk melanjutkan segala doa dan curhatan dari hatinya, karena hanya Allah yang dia anggap menjadi Sahabat terbaik dari hidupnya yang senantiasa menemaninya dalam keadaan susah atau senangnya.

Sekembalinya Ridho dari segala doa dan curhatannya kepada Allah, dia tetap berpulang pada posisi nyamannya di atas kasur dan bersender di batas dinding kamarnya yang menegaskan dingin karena cuaca begitu tidak baik pada senja ini. Entah apa dalam fikirnya, diam saja tanpa banyak melakukan gerakan-gerakan badan yang menyiratkan bahwa Ridho tidak sedang bersemangat.IMG_20131127_132653

dan, kembali lagi…

image

Di suatu lingkar hari, melangkahlah sepasang kaki yang terlihat sempurna namun begitu goyah pijakannya.
Dengan kepala yang terus merunduk, tampak berat tanpa pernah mendongak sedikitpun tak perduli apa yang ada di sekelilingnya.
Apakah matanya tetap melihat jelas? Entahlah, karena tak sedikitpun wajahnya terlihat selain kepalanya ditutupi oleh sebuah topi kusam yang mungkin sudah lupa kapan terakhir kali dicuci.
Bunyi petir dari langit yang perlahan mendung pun sudah tak digubrisnya, hanya terus berjalan gontai ikuti selasar dan likuan. Tanpa arah pasti.
Dan begitulah pada saatnya hujan pun turun dari langit mendera-dera menghujam bumi di bawahnya. Dan pastinya, sekujur tubuhnya yang masih terus berjalan tak perduli kuyup dan basah semakin menambah (mungkin) pilu.
Di penghujung senja itu, berakhirlah langkah kakinya pada satu titik yang begitu sepi tak bersuara yang berlukiskan langit dan rerumputan hijau serta seonggok batang pohon yang sudah tak berdaun.
Diletakkan tubuhnya bersandar pada batang pohon itu dan kepalanya pun mendongak.
Tangannya yang basah menyeka matanya yang berair, entah karena sisa-sisa hujan tadi ataukah bulir-bulir tangisan yang sepanjang jalan tadi tak terlihat.
Mata yang begitu basah berkerling kosong menatap nanar langit yang beranjak gelap, dan sebentar saja benar-benar gelap hingga pelangi yang biasanya muncul setelah hujan pun sudah tak tampak.
Tangannya mendekap tubuhnya yang sudah terasa menggigil hingga bergetar sekujur tubuh yang begitu kurus dan kusam itu. Tak ada kehangatan yang mampu memeluknya untuk mengurangi sedikit dingin yang begitu lara.
Ada sisa air dari ranting pohon tua itu yang jatuh tepat di pelupuk matanya, dan dibiarkannya menetes seiring buliran air dari matanya yang terus mengalir. Hanya sesekali menyeka walau belum juga berhenti.
Dia tak mengejar malam, hanya diam hingga memang malam mendapati dirinya dalam kemuraman di pekat dan begitu gelapnya. (Mungkin) Tak ada yang tahu apakah ada seseorang yang bersandar di batang pohon tua itu karena tanpa cahaya apapun.
Bintang-bintang pun yang kemarin malam masih bermunculan di layar langit kini sudah tak terlihat berkerlipan, semua tertutup awan hitam di malam yang gelap.
Sungguh, jelas sekali kepalanya kepalanya merunduk tepat di batas malam di penghujung hari itu dan genggaman jemarinya tampak begitu kuat seakan menahan pelukan kerinduan yang hanya hadir dalam lamunannya.
Tak bergeser sama sekali posisi duduk dan bersandarnya, benar-benar tahan akan keadaan itu. Untuk mengangkat kepalanya saja menyaksikan pergantian hari dengan terbitnya mentari tepat di hadapnya sudah begitu enggan.
Namun, dia tetap dapat merasakan terang akibat sinar yang menyengat kulitnya yang lembab karena hujan kemarin sore.
Lalu, perlahan diangkatnya kepalanya dan membukalah kelopak matanya untuk menatap sinar mentari dengan tetap berlinang air.
Selamat pagi, malam (dalam hati terucap).

aku, lelaki hitam yang begitu kusam.

Aku, hanyalah lelaki hitam yang selalu terlihat kusam dengan apa yang ada pada diriku.

Namun, aku hanya berusaha lakukan dan berikan yang terbaik apa yang aku punya kepada orang lain.
Mungkin, siapapun dapat memanfaatkan aku dengan situasi apapun.. Dan itulah bodohnya aku, selalu terjebak lalu terjerembab di dalam kebodohan aku secara tidak sadarnya.

Akulah, manusia yang selalu salah…
Akulah, manusia yang selalu menjadi masalah..
Dan,
Akulah, lelaki hitam yang kusam.

makna yang terikat

setia, sebuah kata yang terkadang menjadi momok dalam sebuah ikatan..
mengapa bisa disebut momok? Ya, karena setia itu sebuah kata yang sederhana namun menyiratkan makna yang begitu dalam dan terkadang bahkan tak jarang menyakitkan..

setia, sebuah kata yang sering tersebut dalam sebuah janji suci.. Namun, kata tersebut terkadang dapat menjadi sebuah ingkar dalam perjalanannya..
ya, karena setia itu dapat berlari keluar dari sebuah lingkaran yang sudah dikelilingi oleh tembok-tembok berlapis cinta dan sayang demi sebuah ilusi atau imaji atau impian yang mengikuti sebuah fikir halusinasi semata yang sekejap dan sebuah hasrat yang tak mampu dibendung dengan jernihnya rasa.

setia, sebuah kata yang di zaman sekarang begitu menjadi kata munafik bagi orang-orang yang tak berasa dan bernurani di dalam hatinya..
ya, karena setia sekarang hanya menjadi sebuah mainan yang tergoyahkan oleh goda-goda sebuah media yang tak masuk akal.

setia, menjadi sebuah ingkar dari tipu-tipu modern pada sebuah sederhananya kata cinta..
hanya dengan media chatting, media sosial, media tulisan, setia itu menjadi hambar dan dapat teroleskan oleh ungkap berselimut modus..

setia, sebuah kata yang menjadi sebuah tanya untuk nyata dalam ikatan dan lingkaran cinta dan sayang..
setia, sebuah kata untuk kita mampu melewati tipu untuk goyahkan benteng kasih kita..

setia, akulah setia yang pernah tersakiti, namun aku tak ingin lagi tersakiti..
takkan lagi aku biarkan aku mengalah pada sebuah fiksi yang hancurkan lingkaran aku, dan membuat hatiku terkunci lagi nantinya..
karena, setia bagiku adalah sejati untuk sebuah rasa dan cinta yang harus aku semai sepanjang waktu demi utuhnya benteng kasihku..
setia.
image